Monday, January 13, 2014

Pria di Bandara



Jakarta dari atas Pesawat
Foto ini diambil dari atas pesawat di Jakarta, Indonesia

Sekitar akhir April 2013, di Bandara Soekarno-Hatta saya berkenalan dengan seorang pria. Sebenarnya tidak tepat jika disebut berkenalan, kami hanya mengobrol ngalor ngidul ga nggenah sambil antri giliran check-in. Obrolan pun hanya sekilas tentang hal-hal yang remeh.  

Kebetulan, waktu itu saya sendirian, dan pria itu juga. Obrolan kami terlihat akrab karena kami memiliki logat yang sama, yaitu logat Jawa. Pria itu bercerita tentang pengalaman masa mudanya yang dia habiskan di Jogja. Saya sih manthuk-manthuk saja mendengarkan sambil membayangkan Jogja di masa pria itu muda. Obrolan kami sempat terputus, tapi entah bagaimana, pria itu menemukan saya lagi di antrian imigrasi, bahkan dia menemukan saya (lagi) di ruang tunggu pesawat.

Pria itu, dalam ingatan saya, adalah pria yang sibuk bercerita bahwa dia hendak ke Singapore untuk berlibur bersama anak istrinya. Kebetulan, saya adalah orang yang tidak keberatan jika harus mendengarkan seseorang bercerita panjang lebar tentang dirinya. Saya hanya duduk sambil mendengarkan, bahkan saya tidak bertanya siapa nama pria itu. Begitulah perkenalan kami di bandara.

8 bulan kemudian, beberapa hari setelah dunia heboh dengan perayaan Tahun Baru 2014, saya mendapat telepon dari nomor yang tak dikenal. Penelepon bercerita bahwa dia adalah pria itu, pria yang saya temui di bandara. 

“Kok bisa dapat nomer telepon saya, mas?”
“Kan waktu itu di bandara, saya minta nomer telepon kamu, mbak.”
“Oh iya? Saya lupa.” 

Saya menjawab telepon sambil menoyor kepala sendiri karena memberikan nomor telepon pada orang tak dikenal.

Obrolan di mulai dengan sangat canggung, karena jujur, saya dan pria itu tidak tahu mesti bicara apa. 

“Nama kamu siapa, mbak?”

Hah! Bayangkan ada orang yang menelepon saya dan kemudian bertanya siapa nama saya.

“Pipit”, sambil menoyor kepala sekali lagi karena saya begitu jujur, “Nama mas, siapa?”
“Aris.”
“Bagaimana caranya menemukan nomer telepon saya mas, padahal nama saya saja, kamu tidak tahu?”
“Saya menyimpan nomer telepon kamu, hanya saja saya tidak memberi nama”.
“Hahaha. Lantas bagaimana bisa kamu tahu kalau itu nomer saya, padahal tidak diberi nama?”
“Saya beri nama bandara”, lanjut pria itu kalem, ”Kamu adalah perempuan yang saya temui di bandara. Sebenarnya sudah sejak lama saya mau meneleponmu, tapi hape saya rusak. Baru beberapa hari ini hape saya bener. Saya tadi nge-check nomer-nomer yang ada di hape ini, tiba-tiba inget kamu, terus saya telepon. Saya inget, waktu itu kamu hendak pergi ke Vietnam atau Bangkok. Kamu antri di depan saya, lengkap dengan tas ranselmu. Kamu inget kan? Waktu itu kita satu pesawat ke Singapore?”

Iya. Saya ingat.

“Waktu itu, begitu kita berpisah di Changi, saya bertemu istri dan anak saya. Kamu tahu, tidak seberapa lama kemudian istri saya meninggal”, katamu datar.
“Hah? Meninggal? Kok bisa, mas? Sakit apa?”
“Tidak sakit. Tiba-tiba meninggal saja”.

Saya pun terdiam. Berusaha mencerna, apakah ada lelucon dalam kata-katanya. 

“Itu sebabnya saya mengingatmu. Saya mengingatmu sebagai perempuan yang terakhir saya temui di bandara, sebelum istri saya meninggal. Pertemuan kita, selalu mengingatkan saya, bahwa setelahnya, istri saya meninggal”.

Pikiran saya pun melayang. Saya tiba-tiba ingat. Di sebuah antrian imigrasi. Kamu di belakang saya. Kita mengobrol, lalu teleponku berdering. Mama. Mamaku menelpon untuk mengabarkan bahwa Omku yang tinggal di Magelang meninggal dunia hari itu. “Melayatlah. Wakili papamu”, kata mama. “Saya di bandara, Ma. Nanti kalau sudah sampai Jogja, saya layat ke Magelang”. Tiba-tiba saya ingat, saya berbohong waktu itu. Saya bilang ke Mama, kalau saya mau ke Makassar, padahal saya mau ke Phnom Penh. 

Tiba-tiba saya sadar. Hari dimana kita bertemu adalah hari dimana Om saya meninggal dan istri kamu tak lama kemudian pun meninggalkan dunia. Kita mengingat hari pertemuan kita dengan menandai hari kematian dari orang-orang dekat kita.

“Lalu bagaimana kabarmu saat ini? Kamu baik-baik saja kan?”, suaraku terdengar mengambang.
“Tidak ada orang yang baik-baik saja kalau istrinya meninggal”, katamu.

Saya pun terdiam. Iya, kabarmu pasti buruk. Hanya saja, apakah kamu tidak salah jika berbagi kesedihannya denganku, perempuan yang (hanya) kamu kenal di sebuah bandara.

“Saya hanya tiba-tiba ingin meneleponmu. Itu saja. Entah kenapa, saya mengingatmu. Kapan kita terakhir bertemu, akhir April ya? Selama itu kita tidak bertemu, selama itu juga jangka waktu aku kehilangan istriku”.

Kemudian kami pun terdiam. 

Malam itu, percakapan kami ditelepon diakhiri dengan pria itu memberikan nomer teleponnya yang lain untukku. “Simpanlah”, katanya, ”Siapa tahu kapan-kapan aku meneleponmu lagi dengan nomer itu”. 

Pelajaran yang bisa dipetik dari cerita ini adalah bahwa ternyata pendapat teman-teman tentang saya memang ada benarnya, saya adalah orang yang begitu mudah percaya kepada siapapun, termasuk orang yang baru pertama kali saya temui. 

Semoga bukan hal yang buruk.

Tabik! 
@pacarkecilku

0 komentar:

Post a Comment

berkomentarlah ;-)

 
© Copyright 2013 pacarkecilku