Foto ini diambil dari atas pesawat di Jakarta, Indonesia |
Sekitar akhir April 2013, di
Bandara Soekarno-Hatta saya berkenalan dengan seorang pria. Sebenarnya tidak
tepat jika disebut berkenalan, kami hanya mengobrol ngalor ngidul ga nggenah sambil antri giliran check-in. Obrolan pun
hanya sekilas tentang hal-hal yang remeh.
Kebetulan, waktu itu saya
sendirian, dan pria itu juga. Obrolan kami terlihat akrab karena kami memiliki
logat yang sama, yaitu logat Jawa. Pria itu bercerita tentang pengalaman masa
mudanya yang dia habiskan di Jogja. Saya sih manthuk-manthuk saja mendengarkan sambil membayangkan Jogja di masa
pria itu muda. Obrolan kami sempat terputus, tapi entah bagaimana, pria itu
menemukan saya lagi di antrian imigrasi, bahkan dia menemukan saya (lagi) di
ruang tunggu pesawat.
Pria itu, dalam ingatan saya,
adalah pria yang sibuk bercerita bahwa dia hendak ke Singapore untuk berlibur
bersama anak istrinya. Kebetulan, saya adalah orang yang tidak keberatan jika
harus mendengarkan seseorang bercerita panjang lebar tentang dirinya. Saya
hanya duduk sambil mendengarkan, bahkan saya tidak bertanya siapa nama pria
itu. Begitulah perkenalan kami di bandara.
8 bulan kemudian, beberapa hari
setelah dunia heboh dengan perayaan Tahun Baru 2014, saya mendapat telepon dari
nomor yang tak dikenal. Penelepon bercerita bahwa dia adalah pria itu, pria
yang saya temui di bandara.
“Kan waktu itu di bandara, saya minta nomer telepon kamu, mbak.”
“Oh iya? Saya lupa.”
Saya menjawab telepon sambil
menoyor kepala sendiri karena memberikan nomor telepon pada orang tak dikenal.
Obrolan di mulai dengan sangat
canggung, karena jujur, saya dan pria itu tidak tahu mesti bicara apa.
Hah! Bayangkan ada orang yang
menelepon saya dan kemudian bertanya siapa nama saya.
“Pipit”, sambil menoyor kepala
sekali lagi karena saya begitu jujur, “Nama mas, siapa?”
“Aris.”
“Bagaimana caranya menemukan
nomer telepon saya mas, padahal nama saya saja, kamu tidak tahu?”
“Saya menyimpan nomer telepon
kamu, hanya saja saya tidak memberi nama”.
“Hahaha.
Lantas bagaimana bisa kamu tahu kalau itu nomer saya, padahal tidak diberi
nama?”
“Saya beri nama bandara”, lanjut
pria itu kalem, ”Kamu adalah perempuan yang saya temui di bandara. Sebenarnya
sudah sejak lama saya mau meneleponmu, tapi hape saya rusak. Baru beberapa hari
ini hape saya bener. Saya tadi nge-check nomer-nomer yang ada di hape ini,
tiba-tiba inget kamu, terus saya telepon. Saya inget, waktu itu kamu hendak
pergi ke Vietnam atau Bangkok. Kamu antri di depan saya, lengkap dengan tas
ranselmu. Kamu inget kan? Waktu itu kita satu pesawat ke Singapore?”
Iya. Saya ingat.
“Hah? Meninggal? Kok bisa, mas? Sakit apa?”
“Tidak sakit. Tiba-tiba meninggal saja”.
“Itu sebabnya saya mengingatmu. Saya
mengingatmu sebagai perempuan yang terakhir saya temui di bandara, sebelum
istri saya meninggal. Pertemuan kita, selalu mengingatkan saya, bahwa
setelahnya, istri saya meninggal”.
Pikiran saya pun melayang. Saya tiba-tiba ingat. Di sebuah
antrian imigrasi. Kamu di belakang saya. Kita mengobrol, lalu teleponku berdering.
Mama. Mamaku menelpon untuk mengabarkan bahwa Omku yang tinggal di Magelang meninggal
dunia hari itu. “Melayatlah. Wakili papamu”, kata mama. “Saya di bandara, Ma.
Nanti kalau sudah sampai Jogja, saya layat ke Magelang”. Tiba-tiba saya ingat,
saya berbohong waktu itu. Saya bilang ke Mama, kalau saya mau ke Makassar,
padahal saya mau ke Phnom Penh.
Tiba-tiba saya sadar. Hari dimana kita bertemu adalah hari dimana Om saya meninggal dan istri kamu tak lama kemudian pun meninggalkan dunia. Kita mengingat hari pertemuan kita dengan menandai hari kematian dari orang-orang dekat kita.
“Tidak ada orang yang baik-baik saja kalau istrinya meninggal”, katamu.
Saya pun terdiam. Iya, kabarmu
pasti buruk. Hanya saja, apakah kamu tidak salah jika berbagi kesedihannya
denganku, perempuan yang (hanya) kamu kenal di sebuah bandara.
“Saya hanya tiba-tiba ingin
meneleponmu. Itu saja. Entah kenapa, saya mengingatmu. Kapan kita terakhir
bertemu, akhir April ya? Selama itu kita tidak bertemu, selama itu juga jangka
waktu aku kehilangan istriku”.
Kemudian kami pun terdiam.
Malam itu, percakapan kami
ditelepon diakhiri dengan pria itu memberikan nomer teleponnya yang lain
untukku. “Simpanlah”, katanya, ”Siapa tahu kapan-kapan aku meneleponmu lagi
dengan nomer itu”.
Pelajaran yang bisa dipetik dari
cerita ini adalah bahwa ternyata pendapat teman-teman tentang saya memang ada
benarnya, saya adalah orang yang begitu mudah percaya kepada siapapun,
termasuk orang yang baru pertama kali saya temui.
@pacarkecilku
0 komentar:
Post a Comment
berkomentarlah ;-)