Monday, October 21, 2013

Si Parasit



Foto ini diambil di sebuah sungai di Siem Riep, Cambodia.

Sudahkah kalian membaca novel “Si Parasit Lajang” karya Ayu Utami? Novel ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada Februari 2013. Tapi jauh sebelumnya, novel Si Parasit Lajang telah diterbitkan pertama kali tahun 2003 oleh Penerbit Gagas Media.

Saya belum pernah membaca Si Parasit Lajang versi Gagas Media, jadi pasti tidak bisa membandingkan kedua buku tersebut. Yang pasti, dalam kata pengantarnya Si Parasit Lajang versi Gramedia, si penulis menjelaskan bahwa ada beberapa penambahan, sedikit pengurangan, serta penyesuaian artikel seturut jaman dengan susunan baru.

Si Parasit Lajang versi terbaru adalah novel yang berisi kumpulan tulisan lama Ayu Utami di majalah Jakarta-Jakarta dan djakarta! dari tahun 1999 hingga 2003, dilengkapi dengan beberapa tulisan yang baru ditulis sekitar September 2012 hingga Januari 2013.

Saya tidak berniat me-review buku ini, tidak, saya tidak memiliki kemampuan untuk me-review buku. Saya hanya tertarik pada ide “Parasit” dan “Lajang”. Meski si penulis, menggunakan kedua kata tersebut menjadi satu frase, tapi saya lebih suka memenggalnya.

Pertama, Parasit, kata ini mengacu pada Simbiosis Parasitisme. Dalam ilmu botani, parasit adalah tanaman yang dianggap merugikan, sudah numpang pada inangnya, tak mau ngapa-ngapain, terus minta makan gratis!

Kedua, Lajang, kata ini mengacu pada seseorang yang tidak menikah. Beberapa orang memilih menggunakan kata “belum menikah” untuk mendefinisikan kata Lajang, tapi si penulis (dengan gagahnya) memilih kata “tidak menikah”.

Barangkali, inilah yang membuat si penulis begitu kontroversial saat itu. Iya, saya bilang: “saat itu”. Tulisan pendek Si Parasit Lajang diterbitkan majalah djakarta! pada April 2001. Pada masa itu, tentu “ide” si penulis dianggap tidak sesuai dengan norma sosial, karena pada hakekatnya perempuan harus menikah (kecuali, tentu saja, pilihan hidup para Biarawan dan Biarawati).

Buat beberapa orang, buku ini menjadi sangat menarik karena si penulis memberi penjelasan tentang 10+1 Alasan (si penulis) untuk Tidak Kawin. Saya juga tertarik. Tentu bukan tertarik untuk ikut-ikutan tidak menikah, tapi tertarik bagaimana si penulis menjelaskan, dengan caranya sendiri, bahwa ada yang salah pada konstruksi sosial kita, yang memandang bahwa perempuan yang tidak menikah itu sebagai sesuatu yang “tidak sempurna” atau “cacat”.

Tentu saja, ada laki-laki Lajang, tapi sanksi sosial laki-laki yang melajang, sangat berbeda dengan perempuan yang melajang.

Buat saya pribadi, buku ini jauh lebih menarik karena si penulis menyebutkan dirinya sebagai benalu atau single parasite, karena menurut penulis, cuma “benalu” yang numpang di rumah orangtua, tak bayar listrik, pagi bermain, siang bekerja, malam menulis, tanpa mikir memberi makan anjing atau mencuci mobil (Si Parasit Lajang-hal. 27). Dengan alasan beberapa hal tersebut, si penulis mengklaim bahwa dirinya sendiri sebagai si Parasit Lajang.

Pertanyaannya adalah ada berapa orang yang memiliki gaya hidup semacam si penulis, yaitu si Parasit Lajang? Jawabannya: ini adalah gaya hidup yang saya, kamu, mereka, kalian, atau bahkan gaya hidup dari kita semua, celakanya, kebanyakan dari kita!

Ada berapa banyak perempuan yang karirnya maju, punya penghasilan besar, tapi hidupnya tetap jadi “parasit” bagi orangtuanya?

Atau fakta lain, yang lebih ngeri, ada berapa banyak perempuan yang tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan, tapi bergaya hidup mewah sehingga menjadi parasit bagi orangtuanya? 
Single Parasite pada awalnya adalah sebutan bagi perempuan Jepang yang karirnya maju, tidak menikah, numpang di rumah orangtua sehingga tidak perlu menyewa apartemen, tidak juga perlu mengurus rumah karena sudah ada si Ibu, tidak perlu mencukupi kebutuhan sebulan karena sudah ada si Ayah.
Si Parasit 

Barangkali, konsep keluarga Timur dan Barat memang berbeda. Konsep keluarga Timur (meskipun untuk ukuran Jepang yang maju) kedekatan keluarga adalah segalanya. Saking dekatnya, bahkan orangtua sering tidak tega jika si anak pindah rumah atau pindah ke apartemen, meskipun sebenarnya si anak mampu hidup mandiri sendiri. Kedekatan ini, menimbulkan ketergantungan. Ketergantungan yang akhirnya menghasilkan ke-tidakmandiri-an si anak. Hasilnya adalah si Parasit Lajang.

Konsep keluarga Barat, barangkali jauh lebih “tega”. Buat keluarga Barat, kalau si anak sudah dewasa, ya artinya harus “tega” disuruh keluar dari rumah. Harus belajar mencari kerja, meskipun hanya sekedar tukang cuci piring di restoran. Pembelajarannya, bukan pada belajar cuci piring, tapi bahwa seseorang harus belajar dewasa. Dewasa artinya bertanggungjawab, termasuk bertanggungjawab memenuhi kebutuhan financial diri sendiri.

Itu sebabnya, dalam keluarga Barat, jika si anak sudah dewasa dan masih menumpang hidup di rumah orangtua, itu sangat memalukan. Prinsip mereka, boleh jadi Lajang tapi tidak boleh jadi Parasit!

Bagaimana dengan konsep keluarga di Negri kita?

Seperti umumnya di negri Timur, di Negri kita, ketergantungan anak pada orangtua sangat tinggi. Memang ada masa dimana anak “keluar” dari rumah. Itu adalah masa sekolah dan kuliah. Beberapa anak, bahkan meninggalkan rumah lebih awal, misalnya jika dimasukkan ke pesantren, semakin dini usia dimasukkan, ya semakin dini “belajar” konsep mandiri. 

Ada juga yang semenjak dini disekolahkan di kota lain, di pulau lain bahkan hingga di negri lain. Semakin jauh tempat bersekolah, artinya semakin jarang pula intensitas bertemu orangtuanya. Diharapkan, semakin jarang bertemu orangtua, maka tingkat ketergantungan akan semakin menurun, sehingga anak-anak belajar konsep mandiri. Inget ya, hanya “belajar” mandiri lho, bukan mandiri beneran. Soalnya jaman sekarang, fasilitas di pesantren atau di kost, terkadang jauh lebih mewah dari rumah sendiri, lengkap dengan para rewang yang siap membantu segala pekerjaan rumah tangga.

Apakah jika sudah sekolah jauh dari orangtua lantas tidak menjadi parasit? 

Belum tentu. Saya banyak bertemu dengan teman-teman yang sekolah jauh, menghabiskan banyak biaya, lantas pulang ke rumah orangtuanya, dan menjadi si Parasit Lajang dengan biaya hidup yang jauh lebih besar lagi di rumah!

Konsep “belajar” mandiri di pesantren atau kost, hanya akan berubah nama menjadi “mandiri” sesungguhnya, saat si anak belajar mencapai kebebasan financial-nya sendiri. Proses untuk mencapai kebebasan financial inilah, saya menyebut sebagai proses meninggalkan sisi parasit di diri kita masing-masing.

Untuk mencapai “kebebasan financial”, ada yang bekerja sambilan semenjak duduk dibangku kuliah, bahkan beberapa kenalan saya, sudah membuka usaha semenjak SMA. Beberapa teman, memang kemudian kembali ke rumah orangtuanya, tapi bukan sebagai parasit. Mereka kembali malah untuk membantu financial orangtuanya. Pada beberapa kasus, mereka kembali pulang ke rumah, karena memang tidak ada pilihan lain, misal: mereka anak tunggal, salah satu orangtua sudah meninggal sehingga harus ada yang merawat orangtua yang ditinggalkan, dan tidak ada yang mengurus rumah. Tentu, buat orang-orang seperti ini, saya tidak menyebut mereka dengan si Parasit Lajang. 

Laki-Laki Parasit Lajang

Ada berapa banyak laki-laki yang karirnya maju, punya penghasilan besar, tapi hidupnya tetap jadi “parasit” bagi orangtuanya? 

Atau fakta lain, yang lebih ngeri, ada berapa banyak laki-laki yang tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan, tapi bergaya hidup mewah sehingga menjadi parasit bagi orangtuanya? 

Iya, nampaknya saya ngelantur, karena konsep awal, si Parasit Lajang, hanya digunakan pada perempuan berpenghasilan tapi jadi parasit orangtuanya. Tapi bagaimana, kalau saya pinjam istilah itu untuk menyebut laki-laki yang bertipe si Parasit Lajang?

Saya ulangi lagi ya definisinya?
Single Parasite pada awalnya adalah sebutan bagi perempuan Jepang yang karirnya maju, tidak menikah, numpang di rumah orangtua sehingga tidak perlu menyewa apartemen, tidak juga perlu mengurus rumah karena sudah ada si Ibu, tidak perlu mencukupi kebutuhan sebulan karena sudah ada si Ayah.
Bagaimana kalau dirubah menjadi:
Single Parasite adalah sebutan bagi laki-laki yang karirnya maju, belum menikah, numpang di rumah orangtua sehingga tidak perlu menyewa apartemen, tidak juga perlu mengurus rumah karena sudah ada si Ibu, tidak perlu mencukupi kebutuhan sebulan karena sudah ada si Ayah.
Apakah di Jepang, banyak laki-laki yang jadi si Single Parasit? Jawabannya: tidak banyak, di negri itu lebih banyak perempuan yang jadi single parasite

Apakah di Indonesia, banyak laki-laki yang jadi si Single Parasit? Jawabannya: banyak!

Single Parasite - Multiple Parasite

Pendapat saya pribadi, selama si Parasit tetap Lajang, entah itu perempuan, entah itu laki-laki, selama orangtuanya mau ngopeni, ya tidak masalah. Persoalan yang muncul, hanyalah jika si Parasit tersebut tidak lagi Lajang. 

Kalau si Parasit Lajang adalah perempuan, terus nikah, dapat suami yang punya penghasilan besar, kan tidak jadi parasit lagi? Minimal tidak jadi parasit bagi orangtuanya lagi kan? ;-)

Kalau si Parasit Lajang adalah laki-laki, terus nikah, punya anak, dan tetap jadi parasit bagi orangtuanya, nah itu namanya Double Parasite!  

Nah, bayangkan kalau si Parasit Lajang adalah si laki-laki dan si perempuan, terus mereka menikah dan punya anak, dan tetap jadi parasit? Kira-kira namanya apa ya? Jawabannya: Multiple Parasite!

Parasit Kelas Menengah-Kebawah 

Saya membayangkan bahwa si Parasit Lajang dalam buku Ayu Utami adalah para lajang yang masuk di dalam kelas Menengah-Keatas, sehingga kalaupun mereka ber-transformasi menjadi Multiple Parasite, ya tetap saja mereka golongan Multiple Parasite Menengah-Keatas, yang punya orangtua tajir, yang hartanya tak bakal habis hingga tujuh turunan!  

Lantas bagaimana dengan si Parasit Lajang yang masuk ke dalam kelas Menengah-Kebawah?

Bayangkan cerita ini: 
Sepasang suami istri, si Ayah adalah buruh bangunan, si Ibu bekerja sebagai buruh cucian dari rumah ke rumah. Punya anak lima. Biaya sekolah tinggi. Anak laki-laki lulus SMA, dan anak perempuan “hanya” lulus SMP. 

Lulus sekolah si Laki-laki Sulung ikut membantu jadi buruh bangunan. Belum mampu membiayai hidupnya, kemudian si Sulung menikah, punya anak. Biaya susu yang mahal, membuat si Sulung bersama istri dan anaknya memilih tinggal bersama si Ayah-Ibu, yang tak perlu bayar uang kontrakan atau uang kost. 

Kemudian si Anak Laki-laki Kedua menikah, pengangguran, menikah dan punya anak. Sama seperti si Sulung, si Anak Kedua, juga tinggal bersama si Ayah-Ibu, karena dia tidak bisa menghidupi sendiri istri dan anaknya. 

Lalu, si Anak Laki-laki Ketiga, baru masuk SMA, dan menghamili pacarnya, terpaksa menikah di usia dini, dan lagi-lagi tinggal bersama si Ayah-Ibu, lengkap mengajak istri-anaknya. 
Bayangkan bagaimana si Ayah-Ibu yang awalnya hanya perlu menanggung 5 anak plus 2 dirinya, jadi harus memberi makan 13 perut di dalam rumahnya?   

Anak-anak ini, awalnya adalah Parasite Lajang Menengah-Kebawah, yang belum bisa membiayai hidupnya sendiri, kemudian ber-transformasi menjadi Multiple Parasite Menengah-Kebawah. Pernikahan dini, pernikahan di usia yang belum siap untuk berdikari, atau bahkan memang tidak dididik mandiri oleh orangtua, akhirnya membuat mereka menjadi parasit yang jauh lebih besar, jauh lebih rakus.

Beban financial terbesar kembali jatuh pada orangtua. Akhirnya, yang ada hanyalah Sharing of Poverty. Berbagi Kemiskinan. 

Makanan yang belum tentu kenyang untuk ber-7, harus dibagi menjadi 13 piring. Beban financial ini akan terus bertambah, seiring laju pertumbuhan dan pertambahan jumlah perut yang kudu diopeni di dalam rumah tersebut. Lantas bagaimana?

Solusinya ya cuma satu, anak-anak yang telah menikah berhenti jadi parasit! Tentu, meski sama-sama parasit, beban biaya hidup antara lajang dan menikah, pasti akan berbeda buat orangtua. 

Nah, kalau yang kelas ekonominya Menengah-Kebawah dituntut agar tidak jadi parasit, mosok para Lajang yang kelas Menengah-Keatas “diijinkan” jadi parasit? Tidak adil itu namanya. Diskriminatif!

Kalau memang mau berubah, kita harus berubah semua, bersama-sama! Jangan salahkan si Menengah-Kebawah, karena mereka hanya meniru si Menengah-Keatas. Jangan tuntut kami, si Menengah-Kebawah untuk berubah jadi mandiri, kalau si Menengah-Keatas hanya mengajarkan sifat hedonisme para parasit. Karena apapun kelasnya, kita tetap sama, kita adalah parasit yang menumpang pada inangnya, yaitu orangtua kita.

Si Lajang Parasit

Barangkali ini sindiran buat kita semua. Kalau “seorang” Ayu Utami, yang penulis terkenal saja mengaku parasit, bagaimana dengan kita? 

Apakah kita juga termasuk dalam kriteria Lajang yang numpang di rumah orangtua, tak bayar listrik, pagi bermain, siang bekerja, malam menulis, tanpa mikir memberi makan anjing atau mencuci mobil, tanpa mikir uang bensin, uang belanja makanan, iuran warga, dan mengganti genteng rumah yang bocor?

Kesimpulannya, boleh sih jadi Lajang, tapi jadi Parasit? Nanti dulu! 

Tabik!
@pacarkecilku

0 komentar:

Post a Comment

berkomentarlah ;-)

 
© Copyright 2013 pacarkecilku