Monday, March 9, 2015

Di Samping Bandara


Kemarin Jumat, sepulang dari monitoring ke warga, saya dan beberapa teman berkunjung ke rumah salah satu pegawai kantor. Rumahnya di Sorogenen, masuk Kecamatan Kalasan, Sleman. Tujuan kami hanya satu, yaitu memancing.
Ternyata mencari rumah teman tsb cukup sulit, bukan karena jauh mblusukkan tapi karena untuk menujunya, kami harus mencari gang kampung kecil yang ada di pinggir jalan Solo.
Yap, jalan masuk ke kampung tsb memang di jalan Solo, tapi gang-nya sungguh tak terlihat jika tidak benar-benar dicari. Petunjuk terpenting mencarinya adalah plang salah satu bank ber-plat merah.
Gang masuk ke kampung Sorogenen hanyalah sebuah gang kecil yg hanya cukup dilewati 1 mobil, bahkan jika berpapasan dengan sepeda motorpun, maka salah satu harus mengalah.
Rumah-rumah yg kami temui pun, bukan perumahan elit, hanya kampung biasa. Kami memakirkan mobil disalah satu halaman rumah penduduk, setelah meminta ijin.
Pandangan pertama saya jatuh pada rel kereta api dan bandara Adi Sucipto. Wow, saya tidak pernah sedekat ini melihat pesawat take off melintasi kepala saya, dan disaat bersamaan, kereta api melintas di depan saya. Dan posisi saya tidak di bandara, tapi di luar kawasan bandara.
Menyusuri rel kereta api, kami menemukan blumbang (kolam ikan) milik salah satu teman kantor. Kolam ikannya cukup luas, sekitar 1000 meter. Ini tempat yang kami cari.
Teman kantor saya ini memang memiliki usaha di perikanan, dia memasok ikan, bahkan hingga keluar kota, ke banyak restoran. Tentunya di lahan seluas itu, dia "mempekerjakan" banyak anjing untuk menjaga kolam ikannya.
Tapi, bukan luas kolam ikan yg menakjubkan saya, tapi lokasi lahannya. Bayangkan, saya bisa memancing ikan di tempat yg jauh dari keramaian manusia, menikmati langit, sesekali melihat pesawat yang terbang atau mendarat, sambil merasakan getaran tanah saat kereta api melintas. Tidakkah itu suasana yg kontras tapi sekaligus menakjubkan? 
Lalu bagian mana yg membuat saya merasa pengalaman kemarin termasuk hal yg berkesan untuk saya?
Ini karena pengalaman saya selama ini hanya berada di dalam bandara naik pesawat atau di dalam kereta. 
Saat naik pesawat, entah itu terbang ke kota lain atau pulang ke Jogja, dan kemudian melihat rumah-rumah yang ada di sekitar bandara, saya selalu berpikir, "Bagaimana bisa mereka nyaman tinggal di dekat bandara? Bagaimana dengan tingkat kebisingannya? Bagaimana jika ada sesuatu yg buruk, seperti pesawat gagal landing dan menabrak rumah mereka?" 
Atau saat saya naik kereta api, saya berpikir, "Bagaimana bisa mereka tinggal di dekat rel kereta api? Tidakkah memiliki rumah yg dekat dengan rel kereta akan terkena imbas kebisingan dan rasa khawatir jika anak-anak mereka yg masih kecil tertabrak saat kereta api melintas?".
Pikiran-pikiran saya dipenuhi dengan pertanyaan, "bagaimana bisa?"
Pengalaman memancing kemarin membuat saya menata ulang sudut pemahaman saya. Ternyata tinggal di dekat bandara tidak terlalu buruk, dan ternyata tinggal di dekat rel kereta api juga tidak jelek. Ternyata, menyenangkan juga! 
Tapi, barangkali yang harus digarisbawahi adalah teman kantor saya tidak benar-benar tinggal di dekat rel kereta api. Beliau memiliki kolam ikan luas, yang tepatnya, berlokasi di samping rel kereta api dan di samping bandara.
Pemandangan dari kolam ikannya itu yang menurut saya, jauh lebih mahal dari harga ikannya tsb.
Sejak hari itu, saya mulai berpikir, punya tanah luas dan dijadikan kolam ikan sepertinya menyenangkan. 
Kalau sudah begini, pertanyaannya hanya satu: "kira-kira saya harus kerja berapa puluh tahun lagi, agar bisa punya duit untuk beli tanah seluas itu?"
Happy Life!


0 komentar:

Post a Comment

berkomentarlah ;-)

 
© Copyright 2013 pacarkecilku